Asro Medika

Minggu, 10 Juni 2012

RINITIS ALERGI


Mahyudin
                                                                        04081001038

Definisi
            Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai IgE.

Etiologi
            Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Ada 2 fase reaksi alergi: fase cepat (RAFC) dan fase lambat (RAFL).

Patofisiologi
            Kontak pertama dengan allergenà  ditangkap oleh makrofag (APC) à antigen membentuk fragmen peptide + HLA kelas 2 à komplek peptide MHC kelas 2 à APC melepaskan sitokin à mengaktifkan Th0 untuk berploriferasi menjadi Th1 dan Th2.
            Th2 memproduksi sitokin IL 3, IL 4, IL 5, IL 13 à mengaktifkan sel limfosit Bà menghasilkan IgE à menuju sirkulasi darah dan jaringan àIgE berikatan dengan sel mastosit basophil à sel mediator jadi aktif
            Terpapar alergen yang samaà kedua rantai IgE mengikat allergenà degranulasi dinding sel basophil dan mastosità terlepasnya mediator kimaàHistamin (preformed mediators) dan prostaglandin, leukotrin, dll (newly formed mediators). àbersin-bersin, rinore, hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung.


Klasifikasi
            Berdasarkan WHO ARIA à (1) Intermiten ringan, (2)Intermiten sedang-berat, (3) Persisten ringan, (4) Persisten sedang-berat

Diagnosis
            Anamnesis à bersin berulang, rinore, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang-kadang hiperlakrimasi.

            Pem Fisik à Inspeksi : allergic shiner, allergic salute, allergic crease, facies adenoid, cobblestone appearance, geographic tounge.
                                       Rhinoskopi anterior : mukosa edema, basah, berwarna pucat/livid, secret encer dan banyak, bila persistenàmukosa inferior tampak hipertrofi.

            Pem Penunjang à hitung eosinophil bisa N/tinggi, tes cukit kulit,  SET (skin end-point titration), Intracutaneus provocative dilutional food test, challenge test, sitology hidung, hitung basophil dan PMN, pemeriksanan penunjang lainàIgE total dan Spesifik.

Tatalaksana
            Sesuai Algoritma rhinitis Alergi ARIA,
Namun secara umumà menghindari kontak dengan allergen penyebabnya, antihistamin (generasi 2 lebih disukai: loratadin) bisa dikombinasikan dengan dekongestan peroral. Bila berat à kortikosteroid topikal dan oral, Na-kromoglikat, gagalàkaustik konka/konkotomi.

Prognosisà sesuai klasifikasi rhinitis alergi
Komplikasià Rinitis Hipertrofi, Polip Hidung, OME Residif, Infeksi SPN. 

RINITIS ATROFI


     Mahyudin
                                                                        04081001038

Definisi
            Merupakan infeksi hidung kronis, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka.

Etiologi
            Infeksi oleh kuman spesifik (Klebsiella, Streptokokus, Pseudomonas), (2) Defisiensi FE, (3) Defisiensi Vit. A, (4) Sinusitis Kronik, (5) Kelainan hormonal, (6) Penyakit kolagen.

Patofisiologi
            Tergantung etiologi awal (bisa dari kombinasi beberpa factor penyebab) àinfeksi yg kronik menyebabkan  mukosa dan tulang konka mengalami atrofi yang bersifat progresifàmenghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering (berbentuk krusta yang berbau busuk).

Klasifikasi
(-)
           
Diagnosis
            Anamnesis à.adanya riwayat infeksi kronis (tergantung etiologi), adanya gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat.

            Pem Fisik à Inspeksi : napas berbau, ada ingus kental berwarna hijau, kerak (krusta) hijau,
                                   Rhinoskopi anterioràrongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau.
                                 
                                   Pem. Penunjang à Histopatologik (biopsy konka media)àmetaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.

Tatalaksana
            Belum ada yang baku, tujuannya mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.

            KonservatifàAntibiotik spectrum luasàsesuai dengan uji resistensi kuman, obat cuci hidung (larutan hipertonik atau 100 cc air + 1 cth betadin)à untuk menghilangkan bau busuk di hidung, Vit A (3 x 50.000 unit) dan prefarat Fe dapat diberikan selama 2 minggu.

            Operatifà gagal konservatif à implantasi/ jabir osteo periosteal,àmengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret, Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF)àeradikasi infeksi, perbaikan fungsi ventilasi dan drainase sinusàregenerasi mukosa.

Prognosisà dubia

Komplikasià infeksi SPN

RINITIS VASOMOTOR



  Mahyudin
                                                                        04081001038

Definisi
            Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (hamil, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).

Etiologi dan Patofisiologi
àBelum jelas diketahui, masih berupa hipotesis,
Neurogenikà ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatisànukleus salivatori superiorà ganglion sfenopalatinaà n. vidianusà pelepasan ko-transmiter asetilkolin, vasoaktif internal peptideà vasodilatasi dan peningkatan sekresi hidungà kongesti hidung
            Neuropeptidaàpeningkatan rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung à pelepasan neuropeptida-à substansi P dan calsitonin gene related proteinà meningkatkan permeabilitas vascular dan sekresi kelenjarà peningkatan respon pada hiperaktivitas hidung.
            NOà peningkatan NO pada lapisan epitel hidungà kerusakan dan nekrosis epitelà akibatnya setiap ada rangsang non-spesifik langsung ke sub-epitelàpeningkatan reaktivitas serabut trigeminal dan recruitmen reflex vascular dan kelenjar mukosa hidung.
            Traumaà yang dapat menyebabkan mekanisme neurogenic dan neuropeptida


Klasifikasi (berdasarkan gejala yang menonjol)
            Golongan bersin (sneezers), golongan rinore (runners), golongan tersumbat (blockers).
           
Diagnosis
            Anamnesis à mencari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala, (umumnya non-spesifik; udara dingin, rokok, bau yg menyengat, stress, kelelahan, dll). Gejala dominan--.hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, terdapat rinore mukoid atau serous, jarang disertai gatal pada mata.

            Pem Fisik à Inspeksi : tidak ada patognomonik.
                                   Rhinoskopi anterioràedema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Permukaan  konka licin, berbenjol-benjol (hipertrofi), sekret hidung bersifat mukoid dan sedikit, pada golongan rinoreàsekret bersifat serous dan banyak.
                                    Pem Penunjang à dilakukan untuk menyingkirkan rinitis alergi. Eosinophil biasanya sedikit, tes cukit kulit (-), kadar IgE spesifik tidak meningkat.

Tatalaksana
            Menghindari stimulus/faktor pencetus, simtomatis--. Dekongestan oral + antihistamin, cuci hidung larutan garam fisiologis, beratà kortikosteroid topical; flutikason propionate, ipatrium bromide (antikolinergik). Gagalàkauterisasi, konkotomi, neurektomi

Prognosisà golongan obstruksi lebih baik daripada rinore.
KomplikasiàRinitis Hipertrofi, Infeksi SPN, Polip Hidung.

Sabtu, 09 Juni 2012

Hemangiomas of Infancy & Vascular Malformations: Introduction

REFF--- Current Otolaryngology > II. Face  > Chapter 6. Hemangiomas of Infancy & Vascular Malformations >


Hemangiomas are true tumors with pathologic endothelial cell proliferation; vascular malformations are distinguished by this distinct absence.

Hemangioma of Infancy

Essentials of Diagnosis
  • Absent at birth or history of small premonitory mark at birth.
  • Rapid neonatal growth of the lesion.
  • Cutaneous lesions develop either a typical "strawberry" appearance or a bluish hue ("deep bruise" appearance).
  • Magnetic resonance imaging (MRI) is diagnostic when the diagnosis is uncertain or when serial exam is not possible.
  • Visceral involvement is suspected if there are more than three cutaneous lesions.
  • Progressive stridor in the appropriate age group (2–9 months) is suspicious for airway hemangioma.

General Considerations

Hemangiomas are the most common tumors of infancy. They are more common in females than in males (3:1), in white populations, and in premature infants. Most of these neoplasms are located in the head and neck. In addition, most are single lesions; however, about 20% of patients have multiple lesions. Hemangiomas exhibit a period of rapid postnatal growth. The duration of the proliferative period is variable, but is usually confined to the first year of life. The proliferative period rarely extends to 18 months. The involutional phase is also variable, occurring over a period of 2 to 9 years. After complete involution, normal skin is restored in about 50% of patients. In other patients, the skin has evidence of telangiectasia, yellowish hypoelastic patches, sagging or fibrofatty patches, and scarring if the lesion has ulcerated.

Hemangiomas can be classified as superficial (Figure 6–1), deep (Figure 6–2) or combined. The term superficial hemangioma replaces the older terms capillary hemangioma and "strawberry" hemangioma and refers to hemangiomas located in the papillary dermis. The deep hemangioma, often slightly blue in color, originates from the reticular dermis or the subcutaneous space and in the past was referred to as a cavernous hemangioma. The combined hemangioma has elements of both the superficial and the deep hemangioma.

Pathogenesis

Proliferative hemangiomas have been shown to express high levels of indolamine 2,3-dioxygenase (IDO), basic fibroblast growth factors (-fgf), proliferating cell nuclear antigen, type IV collagenase, urokinase, and, most recently, insulin-like growth factor 2. Involuting hemangiomas have been characterized by exhibition of tissue inhibitor of metalloproteinase 1 (TIMP1), thrombospondin, interferon-, and decreased levels of other factors seen in the proliferative hemangioma.


In addition, it has recently been shown that endothelial cells are of clonal origin and the defect that leads to tumor growth and the altered expression of growth factors is intrinsic to the endothelial cell. These clonal endothelial cells have also been shown to have characteristics similar to placental endothelial cells, which may suggest that hemangiomas are of placental origin. A higher rate of hemangioma is found in children whose mother underwent chorionic villus sampling, which gives additional weight to placental origin theories.

Recently, the primary clonal cell of the hemangioma has been shown to have characteristics of a myeloid cell, demonstrating that it is not a typical endothelial cell.


Clinical Findings

Most commonly, the diagnosis of hemangioma is determined by the history and physical examination. The history typically reveals that more than 50% of hemangiomas are seen at birth as a prominent cutaneous mark. This mark may manifest as a whitish patch, an anemic nevus, a faint telangiectasia, or a blue spot. The rapid proliferation of this initial lesion is highly suggestive of a hemangioma. A superficial hemangioma assumes the typical "strawberry" appearance, making the diagnosis obvious. In a subcutaneous, intramuscular, or visceral tumor, the diagnosis may be uncertain. In these instances, various radiologic modalities can be very helpful. MRI is the most informative of the available modalities.


When an infant age 2–9 months presents with progressive stridor or persistent crouplike symptoms, consideration should be given to the possibility of a subglottic hemangioma. This neoplasm is said to be more common in children with a cutaneous hemangioma in a facial or "beard" distribution. The diagnosis of a subglottic hemangioma should be made with a direct laryngoscopy and a bronchoscopy.


Special consideration should be given to the child with three or more hemangiomas. In these children, abdominal ultrasounds should be obtained to evaluate for visceral hemangiomas, especially hepatic hemangiomas. If the screening ultrasound is positive, MRI of the entire body is indicated to detect other internal hemangiomas.


Another special diagnostic situation arises when a child presents with extensive facial hemangiomas, sometimes referred to as segmental hemangiomas. The term segmental hemangioma relates to the approximate distribution that may correspond to sensory innervation patterns. The acronym PHACE can help the clinician recall the findings seen in these children, which include the following:
Posterior fossa malformations
Hemangiomas
Arterial anomalies
Coarctation of the aorta and cardiac defects
Eye abnormalities

Differential Diagnosis

Congenital hemangiomas are rare vascular tumors that are fully developed at birth and in that way are distinguished from the more typical hemangioma of infancy. There are two types of congenital hemangiomas. One type does not involute—the noninvoluting congenital hemangi oma (NICH). The other type involutes quickly—rapidly involuting congenital hemangioma (RICH). These tumors are also pathologically distinguishable from the hemangioma of infancy in that they are glucose transporter-1 protein(glut-1)–negative.


A pyogenic granuloma is often confused with a hemangioma. A pyogenic granuloma is often the result of a minor trauma. The lesion is usually sessile and as it grows it becomes pedicled, often bleeding impressively. The treatment is surgical excision.


A vascular malformation is another typical diagnostic alternative to consider when attempting to diagnose a potential hemangioma. However, the natural history of the hemangioma (not present at birth with rapid growth in the first months of life) is usually adequate evidence to support a confident diagnosis.


Kaposiform hemangioendothelioma (KHE) is a rare vascular tumor closely associated with Kasabach-Merritt syndrome. Differentiation from hemangioma of infancy is typically based on recognition of aggressive behavior such as compression and invasion of surrounding tissue. These are large abnormal vascular tumors, and early recognition and treatment can be life saving.


Tufted angiomas (known in Japanese literature as angioblastoma of Nakagawa) are benign erythematous plaques that grow slowly over several years. They often stabilize after the slow growth period. A pathologic specimen is usually diagnostic.


MRI with contrast is the most useful of all radiologic evaluations of hemangiomas. MRI can differentiate a hemangioma from a vascular malformation. A discussion of clinical suspicions with the radiologist may help determine the need for concomitant magnetic resonance angiography, which is especially helpful in locating feeder vessels of high-flow arteriovenous malformations.


The ultimate method of differentiating all diagnostic possibilities is with a histologic study of the tissue. A biopsy should be done whenever there is a possibility that the lesion in question is a malignant tumor; however, a biopsy is rarely necessary because there is usually ample epidemiologic, clinical, and radiologic information that can facilitate a reliable diagnosis.


Complications

Although rare, the complications of hemangiomas dictate a need for treatment. These complications include:
(1) Ulceration (most common in the perineum and lip/perioral area).
(2) Airway obstruction.
(3) Visual loss. Obstruction of the visual axis for 1 week in the first year of life can cause permanent amblyopia.
(4) External auditory canal obstruction.
(5) Bleeding. Bleeding is usually low flow and therefore can be managed simply with pressure.
(6) Heart failure. This complication is managed with medical therapy (usually by a cardiologist) and with attempts to control the growth of the hemangioma. Steroids should be the initial medical therapy, with vincristine and other chemotherapies used for steroid failures. Surgical therapy combined with embolization would be a second tier of therapy if medical treatment is not effective and the problem becomes life threatening.

Treatment

The decision to intervene and attempt to treat the patient without an active or inevitable complication from hemangioma must be weighed against the fact that most hemangiomas resolve completely or with minimal long-term sequelae. For hemangiomas with active or inevitable complications, multiple treatment options exist. The most appropriate treatment depends on the location and the nature of the impending complication as well as the child's specific medical and social situation. For example, if follow-up is not possible, early definitive surgical management may be more strongly considered.


Steroids

Steroids are the usual first line of treatment. Typical initial doses are 2–5 mg/kg/d of prednisolone or prednisone. Steroids are best administered in a single morning dose. This initial therapy is usually used for 4–12 weeks, then tapered over the next several months according to what the patient can tolerate. Rebound growth may necessitate a second course of therapy. Alternate-day dosing or rest periods of several weeks may lessen troublesome side effects such as cushingoid appearance, growth retardation, decreased appetite, and susceptibility to infection. Monitoring of blood glucose and blood pressure are recommended. Adrenal suppression can be a result of therapy. Concomitant use of a proton pump inhibitor is also suggested.


Intralesional steroid injections may be used as an initial therapy, especially for orbital or periorbital lesions, tumors of the nasal tip, and globular tumors of the lips, ears, and cheeks and parotid hemangiomas. A 1:1 ratio of long-acting steroids (eg, triamcinolone 40 mg/mL) and short-acting steroids (eg, betamethasone 6 mg/mL) yields the best results. Three injections of triamcinolone, at doses of 3–5 mg/kg per procedure mixed with an equal volume of betamethsone spaced 4–6 weeks apart, are the suggested course. Injections of long-acting corticosteroids in a suspension in the periorbital tissues can result in blindness. Great caution is needed in this area, especially in the upper lid. Low-pressure injection technique is thought to decrease the risk of embolization. When effective, injection therapy usually leads to a dramatic reduction in the size of the lesion within 1 week. In general, steroid therapy (systemic or intralesional) can be extremely effective in one third of patients, partially effective in another third, and ineffective for the final third of patients.


Interferon

Interferon alfa-2a is a comparatively new agent for the treatment of hemangiomas. Although it is effective in most cases, its use is limited because of cost, route of administration, and potential side effects. The treatment is generally reserved for pulmonary hemangioma, life-threatening hemangioma, and diffuse neonatal hemangioma. Transient side effects include fever, elevated liver enzymes, and neutropenia. Spastic diplegia and other permanent neurologic complications associated with the use of interferon alfa-2a have resulted in the cautious application of this therapy. The typical dose is 3 million units/m2 injected subcutaneously daily. The therapy is generally administered for 6–12 months.


Vincristine

Vincristine is gaining popularity as another efficacious treatment for complicated or refractory hemangiomas. There are relatively few side effects compared with interferon. The therapy should be coordinated by a clinician experienced in using the medication. One drawback of the therapy is the need for central venous access for up to 12 weeks.


Laser

Laser therapy for hemangiomas is becoming widely practiced to combat mucosal lesions and cutaneous lesions with or without ulceration. In the United States, laser debulking of mucosal lesions is the typical treatment of obstructing lesions such as subglottic hemangiomas. The goal is to reduce the lesion size to allow for an adequate airway. Recurrence is anticipated and the treatment is repeated until the hemangioma stops proliferating and involutes. Various laser therapies are used, but all share the drawback of causing a mucosal ulceration in the airway.


Ulceration is a controversial indication for cutaneous laser therapy. The yellow light emitted by pulsed dye lasers is selectively absorbed by hemoglobin and melanin. In an ulcerated hemangioma, the laser light does not need to pass through the skin and the melanin within the skin to reach the hemangioma; therefore, the risks of scarring due to absorption by melanin are considered lessened. Recent advances in the flashlamp pulsed dye laser include longer wavelengths, longer pulse durations, and the very important dynamic cooling of the surface tissues. These advances have allowed for higher energy treatments, deeper penetration, fewer complications, and better overall responses. They have in turn led to increased confidence is using flashlamp pulsed-dye laser for the treatment of select nonulcerated cutaneous lesions. The KTP and Nd:YAG lasers have been used for intralesional therapy by using bare fibers to deliver high energies to the deep components of the lesions. The use of these laser technologies, although gaining in acceptance and recognition of their usefulness, is not standardized and is limited by the experience of the practitioner.


Excision

It is common to consider excision in a completely involuted lesion when the residuum causes a functional or esthetic problem.

Baggy fibrofatty tissue is recontoured for improved cosmesis.


The early surgical excision of an actively proliferating lesion is appropriate in an area (eg, the glabella, eyelid, airway, the nasal wall) that will certainly lead to complications or impaired function. This may also prevent the need for protracted systemic therapy and spare the child and family the anticipated psychosocial difficulty.


Some surgeons also advocate surgical intervention of lesions that have stopped proliferating rather than waiting for a protracted involution phase. Physicians who advocate earlier removal do so with the hope of diminishing psychosocial stress. This technique also takes advantage of the natural tissue expansion of the surrounding skin and soft tissue, which occurs in the proliferative phase.


Regardless of the timing, the procedures are typically accomplished using routine techniques. Special preoperative planning and imaging should be carried out when operating on actively proliferating or recently quiescent lesions to minimize blood loss. In addition to standard techniques, circular excision with purse-string closure and subsequent lenticular removal of scarring as needed has been advocated. This technique may lead to smaller eventual scarring.


Treatment of Ulceration

Local wound care consisting of topical and oral antibiotics, topical steroids, barrier creams, and wound dressings are the mainstay of treatment. Treatment to minimize the ongoing proliferation of the hemangioma remains necessary. Management of pain is also very important. Reports of the use of topical recombinant platelet-derived growth factor (Regranex) are new and promising.

Hipospadia


BAB I
REKAM MEDIS

1.1        Identifikasi
Nama                              : Ramadhan
No Reg/ Med Rec          : 04002182/247368
Jenis Kelamin                 : Laki-laki
Umur                              : 9 Tahun
Alamat                           : Luar Kota
Agama                            : Islam
Bangsa                           : Indonesia
Pekerjaan                        : Pelajar
Status                             : Belum Menikah
MRS                               : 14 Maret 2009

1.2        Anamnesis
Keluhan Utama: Bak dari pangkal kemaluan. 

Riwayat Perjalanan Penyakit: Bak dari pangkal kemaluan sejak lahir, pancaran kencing tidak jauh (+). Operasi meluruskan kemaluan 6 bulan yang lalu.

1.3        Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum             : baik
Kesadaran                      : Kompos mentis
TB                                  :  120 cm
BB                                  :  24 kg
Gizi                                : cukup
Tekanan Darah               : 11/80 mmHg
Nadi                               : 106 x/menit
Pernapasan                     : 24 x/menit
Temperatur                     : 36,70C
Kepala                            : konjuntiva palpebra pucat -/-, sclera ikterik -/-
Pupil                               : isokor, reflex cahaya +/+
Leher                              : tidak ada kelainan
KGB                              : tidak ada pembesaran
Dada                              : tidak ada kelainan
Paru                                : tidak ada kelainan
Jantung                           : tidak ada kelainan
Perut                               : tidak ada kelainan
Hati                                : tidak ada kelainan
Kemaluan                       : Lihat status lokalis
Ekstremitas superior       : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior        : Tidak ada kelainan

Status Lokalis
Regio genitalia eksterna
Inspeksi  :  Tampak adanya lubang pada pangkal penis


1.4        Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium:
Darah Rutin (18-02-2009)                                                        
Hb                      : 12,4 g/dL                  (N: 14-18 g/dL)                      
Ht                       : 37 vol%                     (N: 40-48 vol%)                     
Leukosit             : 7600/mm3                  (N: 5000-10000/mm3)            
Trombosit           : 357.000/mm3             (N: 200000-500000/mm3)      

Kimia Klinik
BSS        : 80 mg/dL

1.5        Diagnosis Kerja
Post chordectomy Hipospadia pro uretroplasty 

1.6        Penatalaksanaan
Uretroplasty
1.7        Prognosis
Quo ad vitam                 : bonam
Quo ad functionam        : bonam 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Definisi
Hipospadia merupakan suatu kelainan bawaan dimana meatus uretra eksternus terletak dipermukaan ventral penis dan lebih proksimal dari tempatnya yang normal pada ujung glans penis. Istilah hipospadia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Hypo (below) dan spaden (opening).
Hipospadia dapat timbul tanpa chordee dan chordee dapat pula timbul tanpa adanya hipospadia. Chordee merupakan jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glans penis. Adanya chordee ini menyebabkan penis melengkung kearah bawah yang tampak jelas pada keadaaan ereksi. Dengan penis yang bengkok maka akan timbul kesulitan dalam proses reproduksi dari penis yang hipospadia tersebut.
B.     Insidens.
Hipospadia terjadi pada setiap 350 kelahiran bayi laki-laki hidup. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainan nya dan makin jarang frekuensinya. Klasifikasi dari hipospadiyang sering dipakai adalah glandular, distal penile, penile, penoskrotal, scrotal, dan perineal. Yang distal frekuensinya sampai 90% sedang yang penile, skotal, dan perineal hanya 10%. 
Di Amerika Serikat angka kejadian sekitar 3-8 diantara 1000 kelahiran bayi laki-laki dan angkanya meningkat 2 kali lipat dari tahun 1970 hingga tahun 1993. Sedangkan sejak tahun 1998-2004 jumlah pasien yang telah di tangani Profesor Chaula sebanyak 350 orang.  Di Indonesia juga terjadi peningkatan insidens hipospadia, dari yang ada pada hahun 2006, Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Kariadi Semarang rata-rata menangani enam pasien hipospadia dalam sebulan atau lebih banyak dibanding tahun sebelumnya yang rata-rata empat  pasien perbulan.

C.     Embriologi
Jenis kelamin pada embrio ditentukan pada saat konsepsi oleh kromosom pada spermatozoa yang membuahi ovum.Sperma yang mengandung kromosom X akan membentuk individu XX (wanita) sedangkan kromosom Y pada spermatozoa akan membentuk XY ( laki-laki).
Pada embrio berumur 2 minggu baru terdapat dua lapisan yaitu ectoderm dan endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan ditengah-tengah yaitu mesoderm yang kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan ectoderm dan endoderm.
Di bagan kaudal ectoderm dan endoderm tetap bersatu membenuk membrane kloaka. Pada permulaan minngu ke enam, terbentuk tonjolan antara umbilical cord dan tail yang disebut genital turbecle. Dibawahnya pada garis tengah terbentuk lekukan dimana dibagian lateralnya ada 2 lipatan memanjang yang disebut genital fold. Selama minggu ke 7, genital turbekel akan memanjang dan membentuk glans. Ini adalah bentuk primordial dari penis bila embrio adalah laki-laki. Bila wanita akan menjadi klitoris.
Bila terjadi agenesis dari mesoderm  maka tubercle tak terbentuk sehingga penis juga tidak terbentuk. Bagian anterior dari membrane kloaka, yaitu membrane urogenitalia akan ruptur dan membentuk sinus. Sementara itu sepasang lipatan yang disebut genital fold akan membentuk sisi-sisi dari sinus urogenitalia.
Bila genital fold gagal bersatu diatas sinus urogenitalia maka akan timbul hipospadi. Selama periode ini juga, terbentuk genital swelling di bagian lateral kiri dan kanan. Hipospadi yang terberat yaitu jenis penoskrotal, skotal dan perineal, terjadi kegagalan genital fold dan genital swelling untuk bersatu.

D.    Etiologi
Beberapa etiologi untuk hipospadia yaitu genetik, endocrine dan faktor lingkungan.
o    Faktor genetik
Faktor predisposisi genetik telah dibuktikan melalui 8-fold meningkatkan insidens hypospadia diantara kembar monozigot dengan singletons. Penemuan ini berhubungan dengan kebutuhan 2 fetus terhadap HCG yang dihasilkan oleh satu plasenta yang tidak cukup pada periode kritis perkembangan urethra.
    • Penyakit keluarga menjadi perhatian.  Ayah Penderita hipospadia juga menderita hipospadia pada 8% pasien dan  saudara laki-laki penderita hipospadia juga hipospadia didapatkan pada 14% pasien.
·         Faktor endokrin
    • Penurunan ketersediaan androgen atau ketidakmampuan untuk menggunakan Androgen secara tepat dapat menimbulkan hipospadia.  Pada tahun 1997 dilaporkan oleh Aoronson dkk. 66% laki-laki dengan hipospadia ringan dan 40% dengan hipospadia berat ditemukan mempunyai defek pada biosintesis  testicular testoteron. Mutasi pada enzim 5-alpha reductase yang mengubah testosterone menjadi  dihydrotestosterone (DHT), dihubungkan dengan  hypospadias. Pada 1999 dilaporkan oleh silver dkk. Bahwa 10% anak laki-laki dengan hipospadia empunyai sedikitnya satu alel dengan mutasi 5-alpha reductase mutation. Meskipun defisit reseptor androgen secara kuantitatif maupun kualitatif telah dibuktikan menyebabkan hypospadia. Akan tetapi hal ini tidak selalu terjadi karena  ada faktor lain yang mempengaruhi.
·         Faktor lingkungan.

E.     Patologi Anatomi
Glans penis pada hipospadi bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal dibagian ventral. Prepusium tidak ada dibagan ventral. JaringanAbnormal yang menimbulkan chordee adalah jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang ke distal sampai basis dari glans penis. Kulit penis dibagian ventral  distal dari meatus sangat tipis. Tunika dartos, fascia buch, dan kospus spongiosum tidak ada.
            Bila meatus letaknya di skrotum atau perineum maka terdapat scrotum bifida dimana ada lekukan yang tak rambut. Raphe penis yang biasanya terdapat dibagian tengah akan berpindah kesalah satu sisi sesuai dengan adanya torsi dari kulit penis.
            Kadang-kadang terdapat saluran uretra yang buntu dibagian distal dari meatus. Juga dilaporkan adanya fistula uretra congenital yang timbul bersama-sama hipospadi. Sering skrotum letaknya lebih ke anterior dari basis penis (engulfment). Selain itu kadang-kadang ditemukan penis yang kecil sehingga pada keadaan seperti ini diperlukan pemeriksaan kromatin seks untuk identifikasi jenis kelamin.

F.     Gegala Hipospadia
Gejala klinis yang ditimbulkan pada hipospadia yaitu :
1.      Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis
2.      Penis melengkung ke bawah
3.      Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis
4.      Jika BAK anak harus duduk.
5.      Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus
6.       Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
7.       Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus .
8.        Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar

G.    Diagnosis
Meskipun  dapat di diagnosis dengan menggunakan prenatal fetal ultrasonography, Hipospadia biasanya di diagnosis pada saat bayi baru lahir dengan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan meatus urethra externus terletak lebih proksimal, kadang-kadang disetai dengan atau tanpa chordee. Bila tidak terdapat chordee maka pengobatan dapat ditangguhkan sampai umur 3-4 tahun untuk memastikan bahwa betul-betul tidak ada chordee yang terjadi. Bila pada umur 4 tahun tak ada chordee, maka anak tersebut dapat di sirkumsisi.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopy dan cystoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal. Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.

H.    Pengobatan
Hipospadia dapat di obati dengan cara pembedahan yang bertujuan utuk memperbaiki fungsi dan kosmetik. Usia ideal untuk dilakukan pembedahan adalah usia 1,5 – 3 tahun atau pada sebelum usia sekolah saat anak belum mengerti sehingga akan mengurangi efek psikologis anak tersebut. Pada usia bayi biasanya dilakukan kordektomi untuk meluruskan penis. Sedangkan pasca usia 2-4 tahun dilakukan rekonstrusksi tahap kedua yang terdiri dari rekonstruksi uretra.Meskipun pada kepustakaan disebutkan ada lebih dari 200 teknik operasi untuk hopospadia tapi yang palin popular adalah teknik dari Thiersch-duplay, Dennis Brown, Cecil culp, dan lain-lain.
           Pada semua teknik operasi tersebut pada tahap pertama dilakukan eksisi dari chordee. Penutupan luka operasi dilakukandengan menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis. Tahap pertama ini dilakukan pada usia 1,5-2 tahun bila ukuran penis sesuai untuk usianya. Setelah eksis chordee maka penis akan menjadi lurus, tapi meatus masih pada tempatnya yang abnormal. Pada tahap kedua dilakukan uretroplasti yang dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama.
Pada tahap kedua ini dibuat insisi parallel pada tiap sisi uretra sampai glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah ini untuk membentuk urethra. Setelah urethra terbentuk luka operasi ditutup dengan flap dari kulit dari prepusium di bagian lateral yang ditarik ke ventral dan dipertemukan pada garis median..
Pada teknik  Thiersch- Duplay (Byars) dilakukan operasi pada 2 tahap. Cecil Culp melakukan teknik 3 tahap dimana pada tahap kedua, penis diletakkan pada skrotum. Baru pada tahap ketiga dilakukan pemisahan penis dan skrotum.
            Pada tahun 1959 horton dan devine memprkenalkan teknik satu tahap untuk penangulangan hipospadia teknik satu tahaap ini dilakuakan pada anak yang lebih besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadia jenis yang distal.
           Pada penanggulangan hipospadia, jelas diperlukan prepusium, Karena itu hipospadia merupakan kontraindikasi yang absolute untuk sirkumsisi. Diharapkan semua tahapan ini dapat selesai sebelum anak masuk sekolah.
BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki usia 9 tahun  datang kerumah sakit dengan keluhan utama buang air kecil dari pangkal penis. Dari ananmnesis diketahui bahwa BAK tidak memancar jauh dan pada 6 bulan sebelum masuk rumah sakit telah dilakkan operasi untuk meluruskan penis.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dalam batas normal, gizi cukup, dan dan pada organ lain dalam batas normal. Namun pada regio genitalia eksterna ditemukan kelainan  meatus urinarius eksternus terdapat pada scrotum.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis yang dapat ditegakan pada pasien ini adalah hipospadia tipe scrotal. Yang di tatalaksana dengan pembedahan yang dilakukan dalam dua tahapan. Operasi ini bertujuan untuk merekonstruksi  penis agar lurus dengan orifisium uretra pada tempat yang normal atau diusahakan untuk senormal mungkin. Pada semua teknik operasi tersebut pada tahap pertama dilakukan eksisi dari chordee. Sedangkan operasi tahap kedua adalah uretroplasty.