Asro Medika

Senin, 28 Januari 2013

Neuritis Optik



I.  Anatomi
Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual. Sebagaimana halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak meskipun secara fisik terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP). Komponen yang paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris atau fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan terdalam neuron pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) dan dua lapisan yang lebih superfisial mengandung neuron bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel ganglion (lapisan neuron ketiga). Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan serat retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput nervus optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri centralis retina yang merupakan cabang dari a. Oftalmika4,5.

Nervus kranialis II merupakan indera khusus untuk penglihatan. Cahaya dideteksi oleh sel batang dan sel kerucut di retina, yang dapat dianggap sebagai end organ sensorik khusus untuk penglihatan. Badan sel dari reseptor reseptor ini mengeluarkan tonjolan (prosesus) yang bersinaps dengan sel bipolar, neuron kedua di jaras penglihatan. Sel-sel bipolar kemudian bersinaps dengan sel-sel retina membentuk nervus optikus. Saraf keluar dari bagian belakang bola mata dan berjalan posterior di dalam kerucut otot untuk masuk ke dalam rongga tengkorak melalui kanalis optikus.
Di dalam tengkorak, dua nervus optikus menyatu membentuk diskus optikus. Di kiasma, lebih dari separuh serabut (yang berasal dari separuh retina bagian nasal) mengalami dekusasi dan menyatu dengan serabut-serabut temporal yang tidak menyilang dari nervus optikus kontralateral untuk membentuk traktus optikus. Masing-masing nervus optikus berjalan mengelilingi pedunculus serebri menuju nukleus genikulatus lateralis, tempat nervus optikus bersinaps. Semua serabut yang menerima impuls dari separuh kanan lapangan pandang tiap-tiap mata membentuk membentuk traktus optikus kiri dan berproyeksi pada hemisfer serebrum kiri. Demikian juga, separuh kiri lapangan pandang berproyeksi pada hemisfer serebrum kanan.
Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber sinerium nervus optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal dari masing-masing mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut temporal mata yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan perjalanan untuk ke korpus genikulatum lateral dan kolikulus superior. Kiasma optikum terletak di tengah anterior dari sirkulus Willisi. Serabut saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan jaras visual sedangkan serabut saraf  yang  berakhir  di  kolikulus  superior menghantarkan  impuls  visual  yang membangkitkan refleks opsomatik seperti refleks pupil.

Setelah  sampai  di  korpus  genikulatum  lateral,  serabut  saraf  yang  membawa  impuls penglihatan  akan  berlanjut  melalui  radiatio  optika  (optic  radiation)  atau  traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di girus kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut  mendapat  vaskularisasi  dari  a.  kalkarina  yang  merupakan  cabang  dari  a.  serebri posterior. Serabut yang berasal dari bagian medial korpus genikulatum lateral membawa impuls lapang pandang bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral membawa impuls dari lapang pandang atas (gambar 3)4.Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus superior, saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang berhubungan dengan nukleus  Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk  mengkonstriksikan otot sfingter  pupil (gambar 4)4,1.
Gambar 4. Jaras Refleks Pupil1
 II. Pemeriksaan Sistem Visual
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada sistem visual antara lain:
1.  Pemeriksaan visus
2.  Pemeriksaan refleks pupil
3.  Pemeriksaan lapang pandang
4.  Pemeriksaan funduskopi

Pemeriksaan visus dilakukan dengan membaca kartu Snellen pada jarak 6 meter. Masing-masing mata diperiksa secara terpisah, diikuti dengan pemeriksaan menggunakan pinhole untuk menyingkirkan kelainan visus akibat gangguan refraksi. Penilaian diukur dari barisan terkecil yang masih dapat dibaca oleh pasien dengan benar, dengan nilai normal visus adalah 6/6. Apabila pasien hanya bisa membedakan gerakan tangan pemeriksa maka visusnya 5 adalah 1/300, sedangkan apabila pasien hanya dapat membedakan kesan gelap terang (cahaya) maka visusnya 1/∞.6
Pemeriksaan refleks pupil atau refleks cahaya terdiri dari reaksi cahaya langsung dan tidak langsung (konsensual). Refleks cahaya langsung maksudnya adalah mengecilnya pupil (miosis) pada mata yang disinari cahaya. Sedangkan  refleks cahaya tidak langsung atau konsensual adalah mengecilnya pupil pada mata yang tidak disinari cahaya6,7.
Pemeriksaan lapang pandang bertujuan untuk memeriksa batas perifer penglihatan, yaitu batas dimana benda dapat dilihat bila mata difiksasi pada satu titik. Lapang pandang yang normal mempunyai bentuk tertentu dan tidak sama ke  semua jurusan, misalnya ke lateral kita dapat melihat 90 – 100° dari titik fiksasi, ke medial 60°, ke atas 50 – 60° dan ke bawah 60 – 75°. Terdapat dua jenis pemeriksaan lapang pandang yaitu pemeriksaan secara kasar (tes konfrontasi) dan pemeriksaan yang lebih teliti dengan menggunakan kampimeter atau perimeter.6
Pemeriksaan funduskopi di bidang neurologi bertujuan untuk menilai keadaan fundus okuli terutama retina dan papil nervus optikus. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat berupa oftalmoskop. Papil normal berbentuk lonjong, warna jingga muda, di bagian temporal sedikit pucat, batas dengan sekitarnya tegas, hanya di bagian nasal agak kabur. Selain itu juga terdapat lekukan fisiologis. Pembuluh darah muncul di bagian tengah, bercabang keatas. Jalannya arteri agak lurus, sedangkan vena berkelok-kelok. Perbandingan besar vena : arteri adalah 5:4 sampai 3:2.6

III. Gangguan Pada Nervus Optikus
3.1. Kelainan pada pemeriksaan refleks pupil
Reaksi pupil terhadap cahaya dapat menghilang atau berkurang jika terdapat lesi yang mengenai jaras penglihatan pada lintasan saraf yang berperan pada refleks pupil atau refleks cahaya tersebut. Kelainan tersebut termasuk diataranya10:
1.      Kegagalan cahaya untuk mencapai retina, misalnya akibat katarak dan kekeruhan cairan vitreus pada pasien diabetes melitus.
2.      Penyakit pada retina, seperti retinitis pigmentosa, perdarahan makula, atau scar.
3.      Penyakit atau kelainan pada nervus optikus seperti  neuritis optik, neuritis retrobulbar, dan atrofi nervus optikus.
4.      Kelainan yang mengenai traktus optikus dan hubungannya dengan batang otak.
5.      Penyakit atau kelainan pada batang otak.
6.      Penyakit atau kelainan pada nervus okulomotorius atau ganglion siliare4

3.2. Kelainan pada pemeriksaan lapang pandang
Jika terdapat lesi di sepanjang lintasan nervus optikus (N.II) hingga korteks sensorik, akan menunjukkan gejala gangguan penglihatan yaitu  pada lapang pandang atau medan penglihatan. Lokasi lesi di jaras penglihatan ditentukan dengan pemeriksaan lapangan pandang sentral dan perifer. Lesi di sebelah anterior kiasma (retina atau nervus optikus) menyebabkan defek lapang pandang unilateral; lesi di mana saja yang terletak di jaras penglihatan posterior terhadap kiasma menyebabkan defek homonim kontralateral. Lesi di kiasma biasanya menyebabkan defek temporal.

Tampilan klinis khas yang mengisyaratkan adanya penyakit nervus optikus adalah defek pupil aferen, penglihatan warna yang buruk, dan perubahan-perubahan pada diskus optikus.

Lesi pada bagian medial kiasma akan menghilangkan medan penglihatan temporal yang disebut hemianopsia bitemporal, sedangkan lesi pada kedua bagian lateralnya akan menimbulkan hemianopsia binasal. Lesi pada traktus  optikus akan menyebabkan hemianopsia homonim kontralateral. Lesi pada radiasio optika bagian medial akan menyebabkan quadroanopsia inferior homonim kontralateral, sedangkan lesi pada serabut lateralnya akan menyebabkan quadroanopsia superior homonim kontralateral7.


3. 3. Kelainan pada pemeriksaan funduskopi
Kelainan papil nervus optikus yang perlu diperhatikan adalah papil yang mengalami atrofi dan sembab atau papiledema.  Pada papil yang mengalami atrofi, warna papil menjadi pucat, batasnya tegas dan pembuluh darah berkurang.
Papiledema dapat disebabkan oleh radang aktif ataupun bendungan. Bila oleh radang aktif hal ini disebut papilitis atau neuritis optik yang biasanya disertai perburukan visus yang hebat. Bila di bagian distal N.II yang mengalami inflamasi, sedangkan papilnya normal, hal ini disebut neuritis retrobulbar.8

                                Neuritis Optik 

3.1  Definisi
Neuritis optik merupakan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh inflamasi dan demyelinisasi pada nervus optikus akibat reaksi autoimun. Pada neuritis optikus, serabut saraf menjadi bengkak dan tak berfungsi sebagaimana mestinya. Penglihatan dapat saja normal atau berkurang, tergantung pada jumlah saraf yang mengalami peradangan9.
Neuritis optik terdiri atas tiga jenis, yaitu:
1.         Retrobulbar neuritis : menunjuk kepada lesi saraf yang akut dan tidak ditemukan adanya gambaran fundus yang abnormal.
2.         Papilitis : mengarah kepada lesi anterior diamana diskus menjadi membengkak dan hiperemis.
3.         Neurorenitinitis : memiliki konotasi yang sama dengan papilitis tetapi ditujukan kepada suatu proses yang lebih lanjut menuju daerah dekat retina dan uvea.9

3.2  Epidemiologi
Insiden dan prevalensi dari optic neuritis di amerika serikat adalah 5 per 100.000 penduduk. Pada ras kaukasian, wanita dan orang yang hidup di dataran tinggi lebih banyak terkena penyakit ini. Pada umumnya terjadi pada usia antara 15-49 tahun (usia rata-rata 30-35 tahun).16
3.3    Etiologi
Optik Neuritis (ON) mungkin berhubungan dengan demyelinisasi (disertai dengan Multipel Sclerosis lebih dari 50%), infeksi, parainfeksi atau autoimmune disease. Pada orang dewasa, demyelinisasi adalah penyebab yang tersering dimana penyebab demyelinisasi sendiri tidak diketahui. ON yang disebabkan infeksi sangat jarang terjadi, meskipun begitu yang paling sering menyebabkan ON adalah virus herpes, Cytomegalovirus, lyme disease, TB dan fungi. Para infeksi yang dapat menyebabkan ON adalah sinus disease, vaksinasi dan enchepalitis. SLE, sjogren syndrome, ankylosing spondylitis dan sarcoidosis telah dilaporkan sebagai penyakit autoimun yang juga dapat menyebabkan ON.17

3.4    Patofisiologi
Hingga saat ini reaksi autoimun merupakan teori yang masih dipegang dalam patofisiologi neuritis optik. Dalam reaksi ini myelin nervus optikus mengalami destruksi sehingga akson hanya dapat memberikan impuls listrik dalam jumlah yang sangat kecil. Bila keadaan ini terus menerus terjadi, maka sel ganglion retina aka mengalami kerusakan ireversibel. Setelah destruksi myelin berlangsung, axon dari sel ganglion retina akan mulai berdegenerasi. Monosit melokalisir daerah tersebut diikuti oleh makrofag untuk memfagosit myelin. Antrosit kemudian berproliferasi dengan diikuti deposisi jaringan sel glia. Daerah gliotik (sklerotik) dapat berambah jumlahnya dan meluas ke otak dan medulla spinalis (multipel sklerosis).12
Inflamasi pada endotel pembuluh darah retina dapat mendahului demielinisasi dan terkadang terlihat sebagai retinal vein sheathing.  Kehilangan mielin dapat melebihi hilangnya akson.
Dipercaya bahwa demielinisasi yang terjadi pada Neuritis optikus diperantarai oleh imun, tetapi mekanisme spesifik dan antigen targetnya belum diketahui. Aktivasi sistemik sel T diidentifikasi pada awal gejala dan mendahului perubahan yang terjadi didalam cairan serebrospinal. Perubahan sistemik kembali menjadi normal mendahului perubahan sentral (dalam 2-4 minggu). Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan sitokin dan agen-agen inflamasi yang lain. Aktivasi sel B melawan protein dasar mielin tidak terlihat di darah perifer namun dapat terlihat di cairan serebrospinal pasien dengan Neuritis optikus. Neuritis optikus juga berkaitan dengan kerentanan genetik, sama seperti MS. Terdapat ekspresi tipe HLA tertentu diantara pasien Neuritis optikus.13


3.5    Manifestasi Klinik
Riwayat dan pemeriksaan merupakan dasar dari diagnosis optic neuritis.  Pasien dewasa dengan ON sering ditandai dengan penurunan penglihatan yang unilateral. Bilateral juga dapat terjadi, tetapi ini lebih sering terjadi pada anak-anak atau populasi Asia dan disebut sebagai 'optospinal MS'. Persepsi penglihatan terhadap warna biasanya juga terpengaruh, dengan warna-warna seperti efek washed out sebelum penurunan penglihatan terjadi. Nyeri orbital di dalam atau di sekitar mata.17

Manifestasi klinis biasanya ditandai dengan nyeri subakut unilateral disertai kehilangan penglihatan yang progresif selama beberapa hari sampai 2 minggu. Kehilangan penglihatan mulai dari kabur hingga tidak respon terhadap cahaya. Kilatan cahaya dapat terlihat saat penderita menggerakkan bola matanya. Pada penderita juga terjadi penurunan penglihatan setelah berolahraga atau saat suhu tubuh meningkat (uhthoff phenomenon).
Tanda dari terjadinya optic neuritis ialah abnormallitas penglihatan terhadap warna, menurunnya kontras dari penglihatan, defek lapangan pandang dan reflek pupil aferen defek positif.19

a.       Tajam penglihatan
Dalam praktek umum, tanda-tanda disfungsi saraf optik dapat diperoleh dari pengujian visual acuity menggunakan grafik Snellen untuk menentukan derajat kehilangan penglihatan. ketajaman visual pada penderita Optic neuritis dapat berkisar mulai dari 6/6 hingga no light perception. Hilangnya visus dapat : ringan (≥ 20 / 30), sedang (≥ 20 / 60), berat (≤ 20 / 70)
Pemeriksaan penglihatan warna sangat penting dan ini dapat dideteksi dengan menggunakan ishihara test. Pola yang paling umum didapatkan pada penderita ON adalah redgreen confusion. Defek relatif aferen pupil merupakan tanda klinis dari ON dan sangat penting bahwa tes ini dilakukan dengan benar. Perlakuan percobaan neuritis optik (ONTT) menunjukkan bahwa sekitar 48% pasien dengan ON pada satu mata memiliki optik neuropati pada mata kontralateralnya. Pada anak-anak, ON cukup sering bilateral dan berulang. Penurunan subjektif pada kontras penglihatan adalah indikator lain dari disfungsi nervus optikus.17
Uhthoff’s phenomenon merupakan hilangnya visus sementara waktu yang terjadi secara intermiten yang terjadi di Multiple sclerosis dan optic neuropati. Syndrome ini juga dapat dicetuskan oleh stress emosional, perubahan cuaca, menstruasi, cahaya, makanan, merokok. Patofisiologi dari Unthoff’s syndrome belum diketahui, walaupun adanya hambatan hantaran hingga peningkatan pada suhu tubuh atau perubahan pada kadar elektrolit darah dapat dipercaya memegang peranan.
b. Gangguan lapangan pandang
Depresi secara keseluruhan dari lapangan pandang adalah tipe defek visual yang sering ditemukan. Banyak tipe kehilangan lapangan pandang dilaporkan, termasuk skotoma centrocecal, setelah 7 bulan, 51 % kasus memiliki lapangan pandang yang normal.

c. Ukuran pupil
Ukuran pupil sama dengan optik neuritis yang unilateral walaupun mata tersebut buta. Umumnya, bagaimanapun defek/kerusakan afferent pupil di karakteristikan dengan susahnya atau hilangnya konstriksi pada penyinaran langsung, hal ini didapati pada mata yang ipsilateral. Tes dengan lampu senter yang berayun adalah metode sederhana untuk mendeteksi hal ini.

OPTHALMOSKOPI
a.         Perubahan awal11

Papilitis dapat ditemukan dalam 38 % kasus. Diskus optikus normal dalam 44 % kasus. Pucatnya bagian temporal menunjukkan adanya lesi optik neuritis yang berat pada mata yang sama, hal ini dijumpai pada 18 % dari pasien yang menjalani pemeriksaan. Papilitis tahap awal di karakteristikkan dengan adanya batas diskus yang mengabur dan sedikit hiperemis.
Edema dari diskus optikus (1:3) dengan atau tanpa peripapillary flame-shaped hemorrhages (papillitis lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda) atau normasl diskus (2:3) retrobulbar ON lebih sering pada dewasa. (willeye)

b. Papilitis yang mencapai perkembangan yang lengkap
Adanya papiledema pada opthalmoskopi tidak memungkinkan untuk menyatakan hal ini, ditandai dengan adanya pembengkakan, hilangnya fisiologis cup, hiperemis dan perdarahan yang terpisah. Pembungkus vena biasanya jarang terlihat. Pemeriksaan dengan split lamp untuk melihat adanya sel pada vitreous adalah hal yang sangat penting.

c. Perubahan lanjut
Pada retrobulbar optik neuritis, diskus yang normal dapat dijumpai selama 4-6 minggu, saat dimana pucat dijumpai. Papilitis yang berlanjut kadang-kadangdidapati gambaran optik atropi sekunder. Pada keadaan ini batas diskus dapat mengabur, mungkin terdapat jaringan glial pada diskus, dan pucatnya diskus bagian stadium akhir optik neuritis. Pada stadium ini, serabut saraf atropi dapat diamati pada retina dengan berangkat lampu hijau merah.


3.6 Penegakan Diagnosis
Ø  Anamnesa
Riwayat
·         Pasien dengan sklerosis multipel dapat mempunyai riwayat neuritis optik yang berulang, dapat ditanyakan apakah pernah terjadi sebelumnya keluhan yang sama.

Pada anamnesa akan didapatkan gejala subjektif:
1.      Penglihatan turun mendadak dalam beberapa jam sampai hari yang mengenai satu atau kedua mata. Kurang lebih sepertiga pasien memiliki visus lebih baik dari 20/40 pada serangan pertama, sepertiga lagi juga dapat memiliki visus lebih buruk dari 20/200.
2.      Penglihatan warna terganggu.
3.      Rasa sakit bila mata bergerak dan ditekan, dapat terjadi sebelum atau bersamaan dengan berkurangnya tajam penglihatan. Bola mata terasa berat di bagian belakang bila digerakkan.
4.      Adanya defek lapang pandang.
5.      Pasien mengeluh penglihatan menurun setelah olahraga atau suhu tubuh naik (tanda Uhthoff).
6.      Beberapa pasien mengeluh objek yang bergerak lurus terlihat mempunyai lintasan melengkung (Pulfrich phenomenon), kemungkinan dikarenakan konduksi yang asimetris antara nervus optikus.

Ø  Pemeriksaan
Dilakukan pemeriksaan untuk melihat gejala objektif.
Langkah-langkah pemeriksaan:
1.      Pemeriksaan visus
Didapatkan penurunan visus yang bervariasi mulai dari ringan sampai kehilangan total penglihatan.

2.      Pemeriksaan segmen anterior
Pada pemeriksaan segmen anterior, palpebra, konjungtiva, maupun kornea dalam keadaan wajar. Refleks pupil menurun pada mata yang terkena dan defek pupil aferen relatif atau Marcus Gunn pupil umumnya ditemukan. Pada kasus yang bilateral, defek ini bisa tidak ditemukan.16,2
3.      Pemeriksaan segmen posterior
Pada neuritis optik akut sebanyak dua pertiga dari kasus merupakan bentuk retrobulbar, maka papil tampak normal, dengan berjalannya waktu, nervus optikus dapat menjadi pucat akibat atrofi. Pada kasus neuritis optik bentuk papilitis akan tampak edema diskus yang hiperemis dan difus, dengan perubahan pada pembuluh darah retina, arteri menciut dan vena melebar. Jika ditemukan gambaran eksudat star figure, mengarahkan diagnosa kepada neuroretinitis.14,2

Ø  Pemeriksaan Tambahan
-          Tes konfrontasi
-          Tes ishihara untuk melihat adanya penglihatan warna yang terganggu, umumnya warna merah yang terganggu.2

Ø  Pemeriksaan Anjuran
-          Untuk membantu mencari penyebab neuritis optik biasanya dilakukan pemeriksaan foto sinar X kanal optik, sela tursika, atau dilakukan pemeriksaan CT orbita dan kepala.
-          Dengan MRI dapat dilihat tanda-tanda sklerosis multipel.2



3.8 Penatalaksanaan
Terapi Jangka Pendek
Dalam ONTT, pada pasien yang diberi perlakuan dalam 8 hari setelah onset gejala untuk menerima prednison oral (1 mg per kilogram berat badan per hari selama 14 hari, dengan selanjutnya tapering-off selama 4 hari), dan pasien yang menerima intravena metilprednisolon (250 mg setiap 6 jam selama 3 hari) diikuti dengan prednison oral mg (1 per kilogram per hari selama 11 hari, dengan selanjutnya tapering-off selama 4 hari), atau oral placebo. Pengobatan dengan metilprednisolon intravena ternyata menghasilkan pemulihan visus yang lebih cepat. Angka kejadian multiple sclerosis dua tahun setelah pengobatan dengan infus metilprednisolon sebesar 7,5 persen, dibandingkan dengan 14,7 persen di antara pasien yang menerima prednisone dan 16,7 persen placebo.18
Menurut Wills Eye Manual, terapi terhadap neuritis optik adalah sebagai berikut13:
Pasien tanpa riwayat Multiple Sclerosis atau Neuritis optikus :
1.      Dari hasil MRI bila terdapat minimum 1  lesi demielinasi tipikal :
                Regimen selama 2 minggu :        
a.      3 hari pertama diberikan Methylprednisolone 1kg/kg/hari  i.v
b.      11 hari setelahnya dilanjutkan dengan Prednisolone 1mg/kg/hari oral
c.      Tapering off dengan cara 20 mg prednisone oral untuk hari pertama ( hari ke 15  sejak pemberian obat ) dan 10 mg prednisone oral pada hari ke 2 sampai ke 4
d.     Dapat diberikan Ranitidine 150 mg oral untuk profilaksis gastritis
Menurut Neuritis optikus Treatment Trial (ONTT) pengobatan dengan steroid dapat menurunkan progresivitas Multiple sclerosis selama 3 tahun. Terapi steroid hanya mempercepatkan pemulihan visual tapi tidak meningkatkan hasil pemulihan pandangan visual.
2.      Dari hasil MRI bila 2 atau lebih lesi demielinasi :
a.    Menggunakan regimen yang sama dengan yang di atas
b.    Merujukan pasien ke spesialis neurologi untuk terapi interferon β-1α selama 28 hari
c.    Tidak menggunakan oral prednisolone sebagai terapi primer karena dapat meningkatkan resiko rekuren atau kekambuhan

3.      Dengan tidak ada lesi demielinasi dari hasil MRI :
a.       Risiko terjadi MS rendah, kemungkinan terjadi sekitar 22% setelah 10 tahun kemudian
b.      Intravena steroid dapat digunakan untuk mempercepatkan pemulihan visual
c.       Biasanya tidak dianjurkan untuk terapi kecuali muncul gangguan visual pada mata kontralateral
d.      MRI lagi dalam 1 tahun kemudian
Pasien dengan riwayat Multiple sclerosis atau Neuritis optikus :
1.      Observasi
2.      Memeriksa pasien pada minggu ke 4-6 setelah muncul gejala dan pemeriksaan ulang tiap 3-6 bulan kemudian
3.      Pasien yang berisiko tinggi MS atau demielinisasi sistem saraf pusat dari hasil MRI sebaiknya dirujuk ke spesialis neurologi untuk evaluasi dan terapi lanjutan.


Terapi jangka panjang
Interferon beta-1a dan interferon beta-1b telah terbukti dapat  mengurangi angka kejadian multipel sklerosis pada pasien dengan demielinasi akut optik neuritis dan dua atau lebih karakteristik dari lesi demielinisasi pada MRI. Controlled high-risk Subjects Avonex Multiple Sclerosis Prevention Study (CHAMPS) termasuk 383 pasien dengan neuritis optik akut atau demielinasi lainnya yang berada pada resiko tinggi untuk terkena multiple sclerosis berdasar bukti MRI (dua atau lebih whitematter lesion). Semua pasien menerima 1 g per hari intravena metilprednisolon selama 3 hari; 193 pasien secara acak diberikan suntikan intramuskular 30 mg interferon beta-1a (Avonex) selama 27 hari dan 190 secara acak untuk suntikan mingguan plasebo. pasien yang diobati dengan interferon beta-1a memiliki angka probabilitas lebih rendah untuk terjadinya multiple sklerosi selama 3 dibandingkan dengan mereka yang menerima placebo. 18

3.9 Prognosis
                Perbaikan  visual yang terjadi pada penderita ON ini cukup cepat, bertahap dan berlangsung hingga 1 tahun setelah serangan. Ketajaman visual yang diperoleh rata-rata 1 tahun setelah serangan neuritis optik adalah 20/15, dan kurang dari 10% pasien memiliki ketajaman visual tetap kurang dari 20/40. Parameter lain dari fungsi visual, termasuk sensitivitas kontras, persepsi warna, dan lapang pandang, meningkat seiring dengan peningkatan ketajaman visual. Kebanyakan  dari pasien, yang mengalami serangan neuritis optic lebih dari sekali, dapat mempertahankan visus yang sangat baik selama minimal 15 tahun setelah serangan neuritis optic pertama.16
Meskipun prognosis keseluruhan untuk ketajaman visual setelah serangan neuritis optik akut sangat baik, beberapa dari pasien mengalami hilangnya penglihatan cukup parah yang menetap setelah satu kali serangan. Lebih jauh lagi, bahkan pasien dengan peningkatan fungsi visual untuk "normal" mungkin mengeluh photopsias atau kehilangan visual sementara akibat overheat atau setelah olahraga (Uhthoff phenomenon). Dua hipotesis utama tentang gejala Uhthoff adalah bahwa (1) peningkatan suhu tubuh dapat mengganggu konduksi dari akson n. optic (2) olahraga dapat mempengaruhi lingkungan metabolic disekitar n. optic yang juga dapat mengganggu konduksi dari akson.
Sekitar 25% pasien yang mengalami serangan neuritis optik akut akan mengalami serangan kedua pada mata yang sakit atau serangan baru pada mata yang sebelumnya tidak terkena. Resiko kambuhnya atau serangan baru secara substansial lebih tinggi pada pasien yang diobati dengan dosis rendah prednison oral dibandingkan pasien yang tidak mendapat perawatan atau yang dirawat dengan 3-hari dosis tinggi (1 g / hari) intravena metilprednisolon diikuti dengan 2-minggu dosis rendah (1 mg / kg / hari) prednison.16

DAFTAR PUSTAKA


1.      Guyton AC, Hall JE. Neurofisiologi Penglihatan Sentral. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. 1997. Jakarta : EGC. hal 825.

2.      American academy of ophthalmology. Section 5 Neuro-Opthalmology. San Fransisco : LEO. 2008-2009. Hal. 144.

3.      Ropper, A. Adams and Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. New York: McGraw-Hill. Hal.213

4.      A.K. Kurana. Comprehensive Ophthalmology 4th Edition dalam Chapter 12– New Age International 2007. P 288-96.

5.      Froetscher M & Baehr M. Duus. Topical Diagnosis in Neurology. 4  edition. 2005. Stuttgart: Thieme. p 130 – 137.

6.      Lumbantobing S. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006. p 25 – 46.

7.      Ilyas Sidharta. Pemeriksaan Pupil. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p 31 – 33.
8.      Gilroy Jhon. Abnormalities of Pupillary Light Reflex. In : Basic Neurology. Third edition.
9.      Siregar, N. Papilitis. 2003. USU Digital Library
10.  Chu, E. R. 2009. Optic neuritis – more than a loss of vision. Australian Family physician Vol. 38, No. 10, October 2009.
11.  Schiefer, U. 2007. Clinical Neuro-Ophthalmology. Nw York: Springer.
12.  Guy V. Jirawuthiworavong. 2010. Demyelinating Optic Neuritis. Article (http://eyewiki.aao.demyelinating_optic_neuritis, Diakses 23 Maret 2012)
13.  Osborne B, Balcer LJ.  Optic neuritis: Pathophysiology, clinical features, and diagnosis. Disitasi pada tangal 29 Maret 2011. Dapat diperoleh dari URL: http://www.uptodate.com/opticneuritis.
14.  Riordan-Eva, Paul, FRCS, FRCOphth dan John P. Whitcher, MD, MPH. 2008. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
15.  The Wilis Eye Manual : Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease. 2008. P 250-52.
Optic neuritis : diagnosis, treatment and prognosis. Dapat diunduh dari  URL : http://www.osbbd.com/pdf/Optic%20Neuritis%20CME.pdf (tanggal diunduh : 4 Juni 2012)

PN, shams. 2009. Optic neuritis : Review. The National Hospital for Neurology & Neurosurgery, London, UK. Dapat diunduh dari URL : http://www.msforum.net/journal/download/20091682.pdf (tanggal diunduh : 4 Juni 2012)

Balcer, Laura J. 2006. Optic neuritis. Dapat diunduh dari URL : http://www.nejm.org (tanggal diunduh : 4 Juni 2012)

S J Hickman, C M Dalton. 2002. Management of acute optic neuritis. Neuro-Ophthalmology Department, Moorfields Eye Hospital, London. Dapat diunduh dari URL : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12493277 (diunduh pada tanggal : 4 Juni 2012)

Hiperbilirubinemia


2.1.1    Definisi

      Istilah “ikterus” berasal dari bahasa Yunani icteros atau istilah “jaundice” berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti “kuning”.1 Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.1
      Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan skelera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. 9 Secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl. 9 Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90.9 Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin total sewaktu >12mg/dL dan >15mg/dL pada bayi aterm; ikterus yang terjadi pada hari pertama kehidupan; peningkatan kadar bilirubin >5mg%/24jam; peningkatan kadar bilirubin direk >1,5-2mg%; ikterus berlangsung > 2minggu.2

2.1.2    Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir,  ± 60% neonatus (ikterus fisiologis),  disebabkan: 5-8
Bilirubin selama masa janin diekskresi melalui plasenta ibu sekarang harus diekskresi bayi sendiri
2.      Jumlah eritrosit dan hemolisisnya lebih banyak pada neonatus
3.      Lama hidup eritrosit pada neonatus lebih singkat (70-90 hari)
4.      Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intra-uterin kurang
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, uridine diphosphate glukoronil transferase dan ligand dalam protein belum adekuat) atau penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
Sirkulus enterohepatik meningkat karena masih berfungsinya enzim β- glukuronidase di usus dan belum ada nutrien

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus patologis):1,2, 5-8
Hari 1: - Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus
            - Infeksi intrauterin TORCH

Hari 2-5: - Prematuritas                 - Infeksi
- Ikterus fisiologis          - RDS
- Polisitemia                   - Kongenital spherositosis
- Sepsis                           - Perdarahan Ekstravaskular
- Defisiensi G6PD          - Breast feeding jaundice

Hari 5-10:  - Sepsis
- Breast milk jaundice
- Galaktosemia
- Hipotiroidisme
- Obat-obatan (sulfonamid, furosemid, thiazide, cephalosporine dll)

Hari >10:   - Sepsis
- Neonatal hepatitis
- Atresia biliaris
- Peningkatan sirkulasi enterohepatik (stenosis pilorik, obstruksi usus)


2.1.3    Metabolisme Bilirubin1-4

Bilirubin merupakan produk yang toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.4 Bilirubin berasal dari proses eritropoesis yang tidak efektif dan hasil pemecahan heme dalam sel retikuloendotelial limpa dan hati. Produk akhir jaras metabolisme ini adalah bilirubin indirek (bilirubin bebas/ bilirubin IX alfa) yang tidak larut dalam air, terikat pada albumin dalam sirkulasi. Setelah sampai hepar, terjadi mekanisme ambilan dan bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati. Dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) dan protein Z dan glutation lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya konjugasi. Bilirubin indirek ini kemudian oleh enzim glukoronil transferase dimetabolisme menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk akan disekresikan ke dalam sistem bilier oleh transporter spesifik. 9
Setelah disekresi oleh hati, disimpan dalam kandung empedu sampai proses makan akan merangsang pengeluaran empedu ke dalam duodenum. Bilirubin direk tidak dapat direabsorpsi oleh epitel usus, tetapi dipecah oleh flora usus menjadi sterkobilin dan urobilinogen yang kemudian dikeluarkan melalui tinja. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh enzim β-glukoronidase yang terdapat pada epitel usus dan bilirubin indirek yang dihasilkan ini akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi dan kembali ke hati, yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. 9
Berdasarkan metabolisme normal bilirubin tersebut, mekanisme terjadinya ikterus berkaitan dengan: produksi bilirubin, ambilan bilirubin oleh hepatosit, ikatan bilirubin intrahepatosit, konjugasi, sekresi, dan ekskresi bilirubin. Pada sebagian kasus, lebih dari satu mekanisme yang terlibat. 9

2.1.4    Diagnosis9

      Anamnesis, mencari berbagai faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia, pemeriksaan fisik harus dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, dan dengan menekan kulit dengan tekanan yang ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin kurang dari 4 mg/dl. Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi yang diperiksa; apakah ada pucat, petekie, ekstravasasi darah, memar, kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi. Pemeriksaan terhadap kadar bilirubin total dan indirek untuk menegakkan diagnosis, serta mencari faktor penyebab yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia yang berat.

2.1.5    Penatalaksanaan2, 9

      Tujuan penatalaksanaan ikterus pada neonatus adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern ikterus, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin lebih cepat terjadi dengan memberikan luminal atau agar yang dapat merangsang terbentuknya enzim glukoronil transferase. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma, albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolestiramin), terapi sinar atau transfusi tukar dapat juga dilakukan untuk mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.4 Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG: Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.6

Terapi Sinar9

Bilirubin indirek tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi sinar, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi (80%). Juga terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma (tanpa konjugasi) melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya (foto oksidasi, 20%) menjadi dipyrole yang diekskresikan melalui urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
Pada terapi sinar, panjang gelombang lampu yang digunakan 425-475 nm dengan intensitas cahaya 6-12 μwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. 

Tabel 2.2 Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang
terjadi dan reversibel.
Komplikasi
Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome 
Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin
Diare
Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis
Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi
IWL ↑ (30-100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit
Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin
     
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi adalah intensitas radiasi, kurva spektrum emisi, luas tubuh bayi yang terpapar, usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif.

Transfusi Tukar 9       
  
Merupakan suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar. Transfusi tukar ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi, membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi, mengganti RBC yang sensitized dengan RBC yang tak dapat dihemolise, memperbaiki volume darah dan mengoreksi anemia, memberi albumin, dan membuang zat toksik dan koreksi imbalans elektrolit.

Tabel 2.4 Transfusi Tukar Pada Bayi Kurang Bulan
Usia (jam)
BB < 1500gr
BB 1500– 2000 gr
BB > 2000 gr
< 24
> 10-15 mg/dL
>15 mg/dL
> 16 mg/dL
25-48
> 10-15 mg/dL
>15 mg/dL
> 20 mg/dL
49-72
>10-15 mg/dL
>15 mg/dL
> 17 mg/dL
> 72
>15 mg/dL
>17 mg/dL
> 18 mg/dL

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
1.  Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 10 gr/dL
2.  Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
3. Anemia dengan early jaundice dengan kadar Hb 10–13gr/dL dan kecepatan peningkatan bilirubin  0,5mg/dL/jam  
4.   Anemia yang progresif pada waktu pengobatan hiperbilirubinemia
5. Bayi menunjukkan tanda-tanda ensephalopati bilirubin akut (hipotoni, kaki melengkung, retrocolis, panas, tangis melengking tinggi)
6.   Kadar bilirubin total >25mg/dL

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
    * Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
    * Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
    * Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
    * Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar: 9
    * Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
    * Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
    * Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
    * Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
    * Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
    * Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

6.   Prognosis
      Hiperbilirubinemia prognosisnya akan buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak, artinya penderita telah menderita kern ikterus atau ensephalopati biliaris. Sebaliknya apabila tidak terjadi kern ikterus, prognosanya baik. 9


DAFTAR PUSTAKA

1.      Hadinegoro SR, Prawitasari T, dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2007.
2.      Staf Pengajar FK Unsri. Hiperbilirubinemia Neonatal. Buku Standar Profesi Ilmu Kesehatan Anak. Palembang: FK Universitas Sriwijaya. 2005.
3.      Sastroasmono S, dkk. Ikterus Neonatorum. Diambil dari: http//www.yanmedik-depkes.net .
4.      Markum AH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI. 1991
5.      Sylviati M. Damanik. Hiperbilirubinemia. Diambil dari:  http//www.pediatrik.com.
6.      Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik MS. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: FK Unair/Dr. Soetomo.
7.      Staf Pengajar FK Unsri. Sepsis Neonatorum. Buku Standar Profesi Ilmu Kesehatan Anak. Palembang: FK Universitas Sriwijaya. 2005
8.      Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis. The New England Journal of  Medicine. 336 : 708-16 Diambil dari URL : http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf
9.      Sholeh Kosim M, dkk. Buku Ajar Neonatologi; edisi pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010