I. Definisi
a. Kejang pada bayi baru lahir adalah kejang yang timbul dalam masa neonatus atau dalam 38 hari sesudah lahir.
b. Kejang ini merupakan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang, yang dapat menyebabkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebabnya diketahui, penyakit ini harus segera diobati.
c. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak neonatus.
II. Klasifikasi
Volpe (1977) membagi kejang pada bayi lahir sebagai berikut :
a. Bentuk kejang yang hampir tidak kelihatan (subtle) yang sering tidak diketahui sebagai kejang. Terbanyak di neonatus berupa :
1. Deviasi horizontal bola mata.
2. Getaran dari kelopak mata/berkedip-kedip
3. Gerakan dari pipi dan mulut, seperti menghisap-hisap, mengunyah, mengecap, dan menguap
4. Apnea berulang
5. Gerakan tonik tungkai
6. Gerakan mengunyah , salivasi berlebihan, perubahan pola pernafasan termasuk apneu, berkedip, nistagmus, gerakan bersepeda atau mengayuh pedal , dan perubahan warna.
Setiap gerakan yang tidak biasa pada neonatus, bila berlangsung beurlang-ulang dan periodic perlu dipikirkan kemungkinan dari kejang.
b. Kejang klonik multifocal (migratory)
Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke anggota gerak lainnya secara tidak teratur. Kadang-kdang kejang yang satu dengan yang lainnya bersambungan, dapat menyerupai kejang umum.
c. Kejang tonik
- Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadangan disertai fleksi kedua lengan menyerupai keadaan dekortikasi.
- Ditandai dengan postur tungkai dan badan yang kaku, dan kadang disertai dengan deviasi mata yang tetap.
d. Kejang mioklonik
- Berupa gerakan fleksi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada neonatus.
- Jingkatan jingkatan setempat atau menyeluruh tungkai atau badan sebentar yang cenderung melibatkan kelompok otot distal.
III. Epidemiologi
a. Angka kejadian kejang pada bayi baru lahir berkisar 0,2-1% (Harris dan steinberg, 1954, ;Brown,1973)
b. Pada penyelidika hendarto (1970) di RSCM Jakarta di dapatkan angka sebesar 0,7%.
IV. Etiologi
Sebanyak 10-30% tidak diketahui etiologinya, dan sebaliknya tidak jarang ditemukan lebih dari satu penyebab kejang pada neonatus.
1. Gangguan vascular
a. Perdarahan berupa petakie akibat anoxia dan asfiksia yang terjadi pada intraserebral atau intraventrikuler
b. Perdarahan akibat trauma langsung, yaitu berubah perdarahan di subaraknoid atau di subdural
c. Thrombosis
d. Penyakit perdarahan seperti defisiensi vit K
e. Syndrome hiperviskositas
2. Gangguan metabolism
a. Hipokalsemia
b. Hipomagnesemia
c. Defesiensi dan ketergantungan akan piridoksin
d. Aminoasiduria
e. Hiponatremia
f. Hipernatremia
g. hiperbilirubinemia
3. Infeksi
a. Meningitis, sepsis
b. Ensefalitis
c. Toxoplasma congenital
d. Penyakit ‘cytomegalic inclusion’
4. Kelainan congenital
a. Porensefali
b. Hidransefali
c. Agenesis sebagian dari otak
5. Lain-lain
a. Narcotic withdrawal
b. Neoplasma
c. Dan sebagainya
Trauma lahir dan asfiksia
a. Kejadian perinatal termasuk komplikasi kelahiran dapat menyebabkan kejang pada neonatus. Demikian pula faktor ibu : plasenta previa, solutio plasenta, preeklamsia, sedasi berlebihan à asfiksia dan trauma lahir. Kelainan obstetrik yang paling banayka menyebabkan kejang pada neonatus adalah tersering adalah preeklamsia dan gawat janin.
b. 15% dari 80 bayi asfiksia menderita kejang.
c. Asfiksia menyebabkan kerusakan langsung susunan SSP berupa degenrasi dan nekrosis atau tidak langsung menyebabkan kerusakan endotel vaskular dengan akibat perdarahan petakie.
d. Tperdarahan intrakranial sebagai trauma langsung sebagai akibat ‘moulding’ yang terlalu hebat atau robekan dari ‘bridging vein’ yang akan menyebabkan perdarahan subaraknoid atau paraventrikuler. Hematoma subdural biasanya mengakibatkan gejala sesudah minggu pertama : kejang, ubun-ubun menonjol, pergerakan kurang pada sisi kontralateral. Perdarahan retina atau subhialoid pada funduskopi patagnomik pada kelainan ini.
e. Trauma lahir dan asfiksia biasanya disertai gangguan metabolisme lain seperti hipokalsemia, hipomagnesemia, dan kadang-kadang hipoglikemia.
Sinrome hiperviskositas
a. Hiperviskositas pada neonatus disebabkan oleh meningginya jumlah eritrosit dan dapat diketahui dari jumlah hematokrit.
b. Gejala klinis : pletora, sainosis, letargi, kejang.
c. Kejang pada neonatus disebabkan oleh anoksia dari jaringan otak akibat labatnya aliran darah dan stasis kapiler.
Hipokalsemia
a. Hipokalsemia bisa tanpa gejala atau bersama-sama dengan hipomagnesemia dan hipoglikemia.
b. Hipokalsemia pada kejang yang timbula dalam 4 hari pertama sering terdapat pada gawat janin, perdarahn intrakranial, dsb. Keadaan ini biasanya disertai gangguan metabolisme lain.
c. Hipokalsemia yang terjadi sesudah masa itu jarang dan dapat disebabkan pelh hipoparatiroidsme ibu, hipoparatiroidsim nenonatus idiopatik ,atau pemberian susu buatan berkadar fosfor tinggi.
d. Diagnosis hipoklasemia ditegakkan bila kadar kalsium <7,5mg% dan fosfor >8mg%. pada pemeriksaan EKG : interval QoTc >20 detik.
Hipomagnesemia
a. Biasanya bersama-sama dengan hipokalsemia, hipoglikemia, gawat janin, dsb.
b. Kerusakan otak akibat hal ini belum jelas.
c. Dugaan hipomagnesemia bila hipokalsemia tanpa hipofosfatemia atau hipokalsemia yang tidak teratasi walaupun telah diberi kalsium.
Hipoglikemia
a. Sementara akibat kekurangan produksi glukosa akibat kurangnya depot glikogen hepar atau menurunnya glukoneogenesis lemak dan asam amino.
b. Pada hipoksia pembentukan energi dari glukosa menurun dengan akibat kerusakan neuron
c. Hipoglikemia dapat terjaid pada bayi dari ibu penderita DM, BBLR, dismaturitas dan bayi dengan penyakit umum sperti sepsis, meningitis, dsb.
d. Diagnosis hipooglikemia ditegakkan bila 3 hari pertama sesudah lahir, 2x berturut-turut pemeriksaan gula darah <30mg% pada neonatus cukup bulan atau <20mg% pada BBLR. Pada umur lebih dari 3 hari kadar gula darah <40mg%
Defesiensi piridoksin dan ketergantungan akan piridoksin
a. Jarang terjadi, namun kejang pada jam-jam pertama sesudah lahir dapat disebabkan hal ini.
b. Penyebabnya adalah defisiensi koenzim pembentuk GABA yang merupakan inhibitor di SSP.
c. Sekunder disebabkan oleh kekurangan B6 yang timbul pada minggu terakhir masa neonatus dan berhubungan dengan metabolisme abnormal triftopan.
d. Bayi kejang yang tidak membaik dengan pemberian glukosa, kalsium, dsb dapat diberikan piridoksin sambil dimonitor EEG.
Aminoasiduria
a. Gejala ‘inborn error of metabolisme’ biasanya timbul lebih lambat pada neonatus, tetapi dapat pula berlangsung fatal pada minggu pertama.
b. Kelainan tersebut adalah : hiperglisemia, feniketonuria, penyakit ‘maplesyndrome’ dsb.
c. Diduga bila ada riwayat kematian perinatal pada kelahiran sebelumnya atau bila bayi yang tadinya baik memperlihatkan perubahan kesadaran dan kejang dalam 48 jam sesudah pemberian susu.
Hipo dan hipernatremia
a. Perubahan kadar natrium jarang pada hari-hari pertama kehidupan.
b. Hiponatremia dapat terjadi pada sekresi ADH meninggi pada meningitis, sepsi, diare dan pengeluaran keringat belebihan. Gejala : letargi, tremor, kejang, dsb.
c. Hipernatremia pernah ditemukan pada keadaan tidak sengaja memasukan garam ke susu karena disangka gula. Kejang terjadi karena : dehidrasi sel otak, trombosis vena, atau perdarahan otak.
Hiperbilirubunemia
a. Kernicterus pada hiperbilirubinemia akibat deposit bilirubin indirek di dalam sel otak.
b. Gejala : kurang minum, kejang tonik, ‘sunstreing’ iris mata dan hipertoni ekstensor.
c. Prognosis kurang baik dan meninggalkan gejala sisa.
Infeksi
a. Infeksi kongenital : toxoplasmosis à encepalitis
Anomali kongenital
Kejang merupakan gejala pertama kelainan kongenital seperti porensefali dan hidransefali
Lain-lain
a. drug withdrawal pada bayi baru lahir dari ibu kecanduan narkotika semakin banyak.
b. Keadaan ini juga terdapat pada bayi dari ibu yang mendapat pengobatan antikonvulsan golongan barbiturat.
c. Gejalanya adalah tremor, perubahan tonus, dan tangis abnormal.
d. Kejang hanya terdapat pada 4% bayi tsb.
V. Pathogenesis dan manifestasi klinis
a. Kejang pada neonatus sering tidak dikenali karena bentuknya berbeda dengan kejang pada anak atau orang dewasa. Kejang tonik klonik ‘grand mal’ jarang terjadi pada neonatus.
b. Penyeldidikan sinematografi dan EEG menunjukkan bahwa kelainan yang terdapat pada EEG sesuai dengan ‘twitching’ dari muka, kedipan mata, menguap, nystagmus, tangis yang abnormal, perubahan vasomotor, lemas tiba-tiba, kaku tiba-tiba, gerakan tonik, apneu periodik, dsb. Oleh karena itu kejang pada bayi baru lahir tidak spesifik dan lebih banyak digunakan istilah ‘fit’ atau ‘seizure’
c. Manifestasi yang berbeda-beda ini disebabkan morfologi dan organisasi dari korteks serebri yang belum terbentuk sempurna pada neonatus (freeman, 1975)
d. Korteks serebri pada neonatus belum sempurna diferensiasi sitoplasma dan membrannya. Demikian pula pembentukan dendrit, sinapsis dan mielinisasi.
e. Susunan saraf pusat pada neonatus terutama berfungsi pada medula spinalis dan batang otak. Batang otak berhubungan dengan gerakan-gerakan seperti mengisap, mengunyah, gerakan bola mata, pernafasan, dan sebagainya. Sedangkan gerakan fleksi umum atau kekakuan fokal secar umum adalah gejala medula spinalis.
VI. Diagnosis banding
a. Jitterness sering dikaburkan dengan kejang neonatus.
b. Jitterness adalah gerakan tremor yang kasar dengan amplitude sama. Dapat terlihat pada bayi normal dalam keadaan lapar atau hipoglikemia, bayi dari ibu penderita DM, atau bayi yang kecil untuk masa kehamilan (KMK)
| Jitterness | kejang |
Absnormalitas gerakan bola mata/ekstraokuler | - | + |
Dapat timbul dengan rangsang | + | - |
Gerakan dominan | tremor | Jerking |
Dapat dihentikan dengan fleksi pasif | + | - |
VII. Penegakan diagnosis
Anamnesis
a. Riwayat keluarga, kehamilan, dan persalinan.
b. Riwayat kejang pada bayi terdahulu (sangkaan penyakit herediter : fenilketonuria, dsb)
c. Riwayat ibu mengunakan obat/zat tertentu selama kehamilan : barbiturate
d. Riwayat kehamailan ibu dengan demam, pembesaran kelenjar dan kemerahan kulit : rubella, toxoplasmosis
e. Riwayat kelahiran : menangis spontan, asfiksia, dsb
f. Manifestasi klinis berupa kejang
Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan pediatric
· Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat
· Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat, atau adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-ubun menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural secara hati-hati.
· Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan perdarahn intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi cytomegalo virus atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena dengan bentuk berkelok-kelok ditemukan pada sindrom hiperviskositas.
· Pemeriksaan jantung dan paru
· Pemeriksaan kulit : petike, sianosis, ikterus, dsb
· Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali
b. Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemysnydrome, hilangnya reflex moro, dsb
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
· Pemeriksaan darah terhadap kadar : gula, kalsium, magnesium, natrium dan kalium secara rutin. Pemeriksaan dengan dextrostix membantu diagnosis hipoglikemia sehingga pengobatan dapat dilakukan sambil menunggu hasil true glucose.
· Elektrolit
· CBC, diff count and PLT count
· Arterial blood gas
· Tanda-tanda sepsis à kultur darah
· Pungsi lumbal dan pemeriksaan CSF dan kultur
· Tanda-tanda hiperviskositas à konsentras hematokrit, kadar hemoglobin dan hitung eritrosit
b. TORCH titer, amonia level, dan asam amino di urin
c. USG dan rontgen kepala
d. EEG : diagnosis, pengobatan dan prognosis
e. CT : cerebral malformation and hemorraghe
VIII. Penatalaksanaan
A. TINDAKAN UMUM
1. Mengatur suhu lingkungan
2. Mencegah infeksi
3. Pemberian cairan yang cukup
4. Pemberian oksigen pada kejang yang berlangsung lama karena kebutuhan oksigen sangat meningkat pada waktu kejang
5. Minimal handling (memegang bayi kalau diperlukan saja)
B. MEDIKAMENTOSA : pengobatan sebaiknya ditujukan kepada penyebab utama dari kejang, sedangkan penggunaan antikonvulsan adalah sekunder.
a. Hipoglikemia tanpa gejala
· Periksa dextrostix dan true glucose darah
· Hindari bayi dari kedinginan
· Bayi diberi ASI atau penganti ASI sebanyak 10-15ml/kgBB
· Ulangi pemeriksaan dextrostx selama 1 jam, bila kadar gula darah masih dibawah 45mg% harus dipersiapkan pemberian larutan dextrose
· Selanjutnya pemeriksaan gula darah/dextrostix tiap 3-4 jam. bila menunjukkan >45mg% pada 3-4x pemeriksaan maka bayi cukup diberi minum peroral.
b. Hipoglikemia dengan gejala
· Tremor, mengigil, apneu, letargi, malas minum, kejang, tangis yang tidak normal, serta pemeriksaan dextrostix <30mg% maka pemberian cairan PO dihentikan dan pasang NGT atau pemberian cairan IV
· Bila bayi sedang kejang berikan suntikan larutan lukosa 5% 2-3ml/kgBB sebagai bolus, awasi kemungkinan hipoglikemia kembali.
· Kemudian lanjutkan dengan larutan glukosa 10% sebanyak 8-10ml/kgBB/jam (15ml/kgbb/menit samapai dextrostix >45mg%)
· Selanjutnya jumlah cairan diturunkan bertahap sampai 4ml/kgbb/jam sampai dextrostix stabil >45mg% dan dilanjutkan dengan minuman peroral
· Bila dextrostix sesudah 12 jam tetap <45mg% maka dapat dberikan hydrocortisone 5mg/kgBB IV atau IM tiap 12 jam.
c. Hipokalsemia
Diobati dengan pemberian calcium glukonas 10% 3ml/kg BB IV perlahan-lahan dengan pengawasan terhadap denyut jantung selama penyuntikan. Bila gejala menghilang kalsium harus dihentikan, bila gejala tidak menghilang pikirkan hipomagnesia dan bayi diberikan MgSO4 2-3% sebanyak 2-6ml atau larutan 50% 1 ml, 1x/hari IM.
d. Ketergantungan piridoksin
Diberikan piridoksin diberikan piridoksin 25-50mg IV, dan dimonitor dengan EEG. Bila terjadi kelainan metabolisme piridoksin, kelainan pada EEG akan segera hilang setelah pemberian terapi.
e. Infeksi
Antibiotik yang sensitif terhadap kuman penyakit, jumlah dan lamanya pengobatan disesuaikan beratnya penyakit.
f. Sindrom hiperviskositas
Pada polisitemia hipervolemik dilakukan flebotomi dan darah dilekuarkam 10% dari darah sedangkan polisitemia normovolemik dilaukuan transfusi tukar parsial 30mg/kgBB plasma/plasma ekspander untuk darah yang dikeluarkan.
g. Gangguan elektrolit natrium
Hiponatremia biasanya disebabkan oleh retensi air akibat sekresi ADH yang meninggi. Pengobatannya adalah restriksi pemasukan cairan. Bila disebabkan oleh kehilangan natrium karena ekskresi yang banyak maka pengobatannya adalah pemberian natrium.
h. Kernicterus
Adalah tidak ada gunanya karena kerusakan yang ditimbulkannya di otak tidak dapat diperbaiki lagi.
i. Bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan terhadap penyebab kejang, lakukan blind treatment :
· Pertama, piridoksin 25-50mg IV
· Bila dalam 2-3 menit tidak berhasil dilanjutkan dengan pemberian MgSO4
· Urutan selanjutnya kalsium glukonas
· Dan terakhir glukosa.
C. PENGOBATAN SEKUNDER : ANTIKONVULSAN
a. Phenobarbital 20mg/kgBB IV
b. Phenytoin 20mg/kgBB IV : lebih berhasil pada kejang tonik.
c. Diazepam dihindari karena menyebabkan apneu, kolaps sirkulasi serta tidak begitu baik untuk maintenance karena pengaruhnya terhadap penekanan kontraski otot lebih besar dari bangkitan kejang.
d. Terapi hanya diberikan sampai satu minggu bebas kejang, bila kejang timbul pengobatan dimulai kembali. Tidak dianjurkan pemberian anti kejang jangka panjang untuk mencegah epilepsi pada bayi resiko tinggi.
IX. Pencegahan
X. Prognosis
a. Prognosisnya tergantung penyebab primer dan beratnya serangan.
b. Akhir-akhir ini prognosis bayi kejang lebih baik.
c. Prognosisnya buruk bila :
1. Nilai apgar menit ke 5 dibawah 6
2. Resusitasi yang tidak berhasil baik
3. Kejang yang berkepanjangan (prolonged seizures)
4. Kejang yang timbul <12 jam setelah lahir
5. Bayi berat badan lahir rendah
6. Adanya kelainan neurologik sampai bayi berumur 10 hari
7. Adanya problematika minum yang terus berlanjut
d. Best prognosis : hipocalcemia, defisiensi piridoksin, dan perdarahan subarachnoid
e. Worse prognosis : hipoglikemia, anoxia, brain malformation.
XI. Komplikasi
a. Kronik seizures
b. Cedera neurologis ireversible
c. Mental retardation
d. Cerebral palsy
XII. KDU : 4